Gusdurian Peduli Sumenep: SE Pembatasan Perjalanan Tak Miliki Kekuatan Hukum Mengikat

SUMENEP, Gempardata.com – Menindaklanjuti Surat Edaran (SE) yang di keluarkan Pemerintah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, terkait kriteria pembatasan perjalanan orang guna percepatan penanganan dan memperhatikan penyebaran covid-19, menuai kontroversi.

Pasalnya, SE Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, No 5 Tahun 2020, tanggal 25 Mei 2020 soal perubahan atas SE No 4 Tahun 2020 tentang kewajiban kepada siapapun termasuk Santri yang akan kembali ke Pondok Pesantren dan Mahasiswa harus menyertakan hasil rapid test non Reaktif dan RT-PCR Negatif dari laboratorium/Lembaga resmi lainnya itu dinilai tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

https://gempardata.com/

Hal itu disampaikan langsung oleh Koordinator GUSDURian Peduli Sumenep, Faiqul Khair Al-kudus, pada media online Gempardata.com bahwa, pihaknya menyayangkan dikeluarkannya Surat Edaran Bupati Sumenep tentang Persyaratan Perjalanan.

“Pemerintah dan Pemda menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Pemerintah juga wajib dalam melakukan Pemenuhan Kebutuhan Dasar salah satunya Pelayanan Kesehatan. Disebut dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 5 dan Pasal 53,” katanya, Senin (1/6/2020).

Dijelaskan Faiqul Khair, semenjak Covid-19 ditetapkan sebagai Bencana Nasional oleh Pemerintah RI dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Jaringan GUSDURian Peduli diminta untuk berjejaring dengan seluruh stake holder di tingkat Wilayah dan Komunitas di Kabupaten Sumenep.

“Pada tanggal 30 Mei 2020, Bupati Sumenep, Dr. KH. A. Busyro Karim, M.Si melalui Dinas Kesehatan setempat mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang tujuan salah satunya yakni untuk Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi di Sumenep,” ucapnya.

Dalam SE tersebut, lanjut Faiqul Khair, berisi kewajiban kepada siapapun termasuk Santri yang akan kembali ke Pondok Pesantren dan Mahasiswa harus menyertakan hasil Rapid Test Non Reaktif dan RT-PCR Negatif dari laboratorium atau Lembaga resmi lainnya.

Bahkan, sambung Faiqul Khair, yang menjadi masalah, menurutnya adalah tidak mungkin jika misal seluruh Santri melakukan Rapid Test dengan biaya yang di bebankan kepada perseorangan (person) Santri dan Mahasiswa.

Sementara itu, Faiqul Khair mengungkapkan, bahwa harga Rapid Test saja di rumah sakit dan lembaga resmi lain yang ada di Kabupaten ujung timur Pulau Madura ini di kisaran harga Rp. 450.000,- menjadi berat secara ekonomi.

“Seharusnya, jika keputusan wajib rapid test harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemdakab) Sumenep, sesuai dengan Undang – undang yang ada,” terangnya.

Disamping itu, Faiqul Khair juga menuturkan, bahwa Surat Edaran itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Maka, siapa saja bisa melanggar hal tersebut dan tidak boleh di sangsi atau di hukum.

“Jika Pemkab Semenep akan serius melakukan penanggulangan Covid-19, bukan mengeluarkan Surat Edaran Bupati melainkan Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbub) yang jelas memiliki kepastian hukum,” jelasnya.

Disisi yang berbeda, sambung Faiqul Khair, Pengasuh Pondok Pesantren, Rektor Perguruan Tinggi, Relawan dan Masyarakat Umum tidak diajak urun rembuk dan tidak diberikan akses informasi yang cukup oleh Pemerintah setempat.

“Sangat jelas, pemerintah dalam hal ini telah melanggar Undang – undang yang lain yakni: UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” jelas Faiqul Khair kepada pewarta.

Lebih lanjut Faiqul Khair berharap, semoga hal semacam ini tidak terulang kembali, sehingga menegaskan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep sedang bermain-main anggaran dalam kondisi bencana Nasional Covid-19.

“Benar apa kata GUS DUR “Yang Lebih Penting Dari Politik Adalah KEMANUSIAAN”. Salam Kemanusian, Humanity For All,” pesannya. (sheno/dein)

https://gempardata.com/