Menunggu Kiprah Fauzi-Eva

Oleh: Shohebul Umam JR

Gegap gempita antusiasme masyarakat Sumenep menyambut bupati anyar, Fauzi-Eva (FE) setelah dilantik pada 26 Februari 2021 kemaren, masih semarak di setiap pojok-pojok kongkow. Resonansi ini tidak lantas mengklaim Sumenep mamasuki era baru, tetapi untuk menyebut bahwa Sumenep menuju arah baru, tentu tidak berlebihan. Latar belakang sosial Fauzi khususnya, sebagai ujung tombak penentu mata tajam kebijakan, sama sekali berbeda dengan pemimpin-pemimpin Sumenep sebelumnya.

https://gempardata.com/

Setidaknya dengan dua rezim ‘kembar’, di bawah kepemimpinan dua politisi yang lahir dari tradisi pesantren, KH. Ramdan Siradj dan KH. Busyro Karim yang baru saja purna tugas. Corak kepemimpinan dua kyai ini, tidak dapat dipungkiri cenderung konservatif dan terlalu romantik. Fauzi dalam konteks politik, berhasil melucuti kecenderungan latar belakang sosial ‘trah kyai’ sebagai modal politik, meskipun tidak total. Bersama nyai Eva, Fauzi mampu memenangkan kontestasi dan duduk sebagai orang nomer satu di Sumenep.

Warga Sumenep telah memiliki pemimpin baru, sekaligus harapan baru telah memuncak di dalam benak masyarakat. Bulan-bulan mendatang akan memberikan fakta, kemana ‘kapal’ pemerintahan FE akan membawa Sumenep. Apakah kebijakan di tangan Fauzi akan pro rakyat, atau justeru sebaliknya, akan sangat intim dengan pasar? Tuan dan puan, jangan lupa bahwa sosok orang nomer satu Sumenep saat ini memiliki jiwa enterpreneur luar biasa, yang bertekad untuk berdedikasi untuk membangun Sumenep. Pengalaman di dunia usaha yang dekat dengan pasar, tentu menjadi tantangan sekaligus kekuatan tersendiri.

Namun demikian, demokrasi dalam narasi historis Indonesia secara umum, pergantian pemimpin selalu dielukan tetapi ketika gagal memenuhi janji untuk kepentingan rakyat, akan dihujat laiknya bajingan yang paling bejat. Pun juga berlaku bagi FE, jangan percaya bahwa rakyat Sumenep selalu ramah dan sopan kepada pemimpinnya, mereka bisa menjadi sangat beringas bahkan tidak akan sungkan untuk berbuat anarkis.

Oleh karena itu, awal kepemimpinan adalah waktu yang demikian krusial. FE sebaiknya terus merenung dan berhati-hati untuk mengambil langkah strategis di dalam setiap kebijakan. Harapan tinggi masyarakat terhadap FE harus dijawab dengan program-program jitu dan konkrit. Terutama di dalam soal pengentasan kemiskinan, hal ihwal yang tidak mampu dibenahi dengan maksimal pemerintah sebelumnya. Fluktuasi kemiskinan Sumenep setidaknya sejak 2012-2019, angka penurunanya tidak signifikan yakni, tidak lebih dari 1%. Mengurangi angka kemiskinan—jika tidak mampu mengentaskan kemiskinan—merupakan satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar, sebab Sumenep adalah daerah yang memiliki potensi luar biasa, baik dari potensi Sumber Daya Alam (SDA) ataupun Sumber Daya Manusia (SDM).

Tugas yang menunggu FE oleh karena itu adalah, bagaimana menekan angka kemiskinan di Sumenep melalui program-program pembangunan yang ia janjikan. Syarif Moeis mengasumsikan bahwa, proses pembangunan dapat dijadikan barometer, untuk menilai sejauh mana nilai-nilai dasar masyarakat yang terlibat dalam proses ini, bisa memenuhi seperangkat kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dalam dinamika sosial masyarakatnya (Moeis; 2008).

Oleh karena itu, untuk menantang kemiskinan yang menjerat sampai detik ini, perlu langkah taktis FE di dalam mengarahkan otoritasnya, terutama di dalam mengoptimalkan potensi alam yang dimiliki, sekaligus proaktif di dalam melakukan pemberdayaan (empowering) masyarakat. Langkah-langkah ini, patut untuk dikalkulasi kembali oleh FE di dalam memasuki gerbang kepemimpinannya, jika tidak ingin mendapat cibiran bahwa, Sumenep dikutuk oleh sumberdayanya sendiri (resource curse). Suatu telaah yang meyakini bahwa, keberlimpahan sumber daya alam membuat performa pembangunan ekonomi serta tata kelola pemerintahannya (good governance), kerap lebih buruk dari daerah dengan sumber daya yang lebih kecil (J.A.Frankel; 2010). Kualitas program FE oleh karena itu akan mencerminkan kualitas hidup masyarakat, rendah atau sebaliknya.

Program pembangunan yang berkelanjutan (sustainable), dengan tetap memperhatikan ancaman degradasi lingkungan, untuk tetap menjaga keutuhan masa depan manusia dan alam (Stafford-Smith dkk, 2017) harus menjadi landasan etis setiap kebijakan FE. Program yang mengedepankan keadilan tanpa opresi kepada alam atau manusia, harus terus digalakkan oleh pemerintah baru dengan harapan baru. Program FE oleh karenanya, harus dapat mendorong Sumenep progresif, berdaya dan berintegritas.

Perencanaan yang matang dan akurat, menjadi element penting dan menentukan terhadap setiap kebijakan yang diproduksi oleh FE. Rencana kerja pemerintah sebelum diproduski, harus benar-benar terjamin terintegrasi dengan kebutuhan masyarakat Sumenep secara umum, dengan langkah melakukan pembacaan lintas sektor; sosial, ekonomi, budaya hingga ekologi. Dengan demikian, kerangka kerja FE dapat menyentuh semua kebutuhan masyarakat secara komprehensif.

FE sebagai pemimpin baru Sumenep oleh karenanya, mesti segera keluar dari euphoria antusiasme sambutan masyarakat. Memikirkan kembali program yang langsung dapat menyentuh akar rumput, untuk memastikan bahwa, harapan baru mereka bukanlah sebuah mimpi belaka. Janji pembangunan, pemerataan keadilan dan kesejahteraan, merupakan pekerjaan besar yang harus dapat dituntaskan dalam tiga tahun ke depan. Jangan sampai budaya ‘amnesia’ pemimpin dijadikan sebagai perisai untuk melupakan janji yang sudah terlampau manis diucapkan.*

Direktur Utama Indonesian Studies and Research Center (ISRC)

https://gempardata.com/

Komentar