Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
_________________________
Mereka yang tak punya api, hidupnya akan sia-sia Rumi
SUBEKI nama itu telah lama saya dengar. Orang Kaya Baru asal Banyuwangi yang tinggal di Sumenep, Madura.
Hebat. Punya kerajaan bisnis, aset berupa tanah dan bangunan rumah dimana-mana.
Subeki mampu mendikte BNI Syari’ah yang kini melebur menjadi Bank Syariah Indonesia bersama BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri.
Seorang Subeki, berdasarkan rapat internal BSI, bisa menjebol pertahanan perbankan syariah hingga diduga menimbulkan kerugian uang negara lebih dari 60 milyar.
Subeki dikenal sebagai kiai di internal BNI Syariah/BSI. Tapi menurut rekan-rekan di Al-Amien, ia bukan kiai, jadi bisa kita bilang: “kiai gadungan.”
Subeki menggunakan nama orang lain untuk menjebol keuangan perbankan, dia mampu mendikte BNI Syariah agar seluruh duit milik nasabah ditransfer oleh bank ke rekening Subeki. Seluruhnya.
Nasabah yang lugu, dipecundangi. Dibuat mengemis pada Subeki. Jika nasabah komplain ke bank, pihak bank bilang: kami diminta Kiai Subeki untuk mendebet seluruh duit bapak.
Jadi, tanpa restu pimpinan bank, mustahil Subeki sukses menjebol BNI Syariah/BSI. Inilah mafia perbankan. Setan berbaju syari’ah.
Subeki bisa atur bank. Jika agunan bernilai 15 juta, bisa cair 7 ratus juta. Jika agunan bernilai 300 juta, bisa cair 2 milyar lima ratus, dan seterusnya.
Tapi, duit milyaran itu ditransfer oleh bank ke rekening Subeki. Nasabah hanya sapi perah, yang akan ditagih setiap bulan oleh bank. Tak peduli apa alasan nasabah.
Prinsip syari’ah dimana tuh? Bukankah maysir, gharar dan riba dilarang dalam akad syariah? Bukankah akad syari’ah itu untuk membumikan nilai-nilai Islam, nilai-nilai universal sebagai bentuk kepatuhan kita pada nilai-nilai ilahiyah?
Tapi, perilaku Subeki dengan oknum BSI itu justru merupakan pembangkangan terhadap nilai-nilai ilahiah, pembangkangan terhadap Allah.
Dalam Islam, yang memilih untuk membangkang pada Allah itu hanya setan, iblis itu semua. Jadi bisa kita bilang, perbuatan pelaku ini bukan syari’ah, melainkan perbuatan setan berbaju syari’ah.
Kabarnya, banyak pejabat, Aparat Penegak Hukum dan pengusaha yang rajin ke rumah Subeki dekat Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.
Jangan salah, Subeki bukan bagian dari Al-Amien Prenduan. Track recordnya buruk, terdepak juga dia dari Al-Amien.
Awalnya kami belum percaya kehebatan Subeki, baru paham setelah ada empat korban meminta bantuan untuk menangani masalahnya
Kami koordinasi BSI Cabang Sumenep, BSI Regional Surabaya dan bagian legal di BSI. Mereka semua bingung, tak dapat berbuat banyak
Kami hanya minta dua hal: (1) kembalikan seluruh uang nasabah ke rekening mereka, (2) jika tidak, serahkan hasil audit atau seluruh dokumen ke Aparat Penegak Hukum untuk diusut tuntas dan diproses hukum
Karena tak bergeming, kami memilih turun jalan, sebagai langkah advokasi menjaring korban-korban lain.
Kita ciptakan gejolak, protes. Kita bangkitkan amarah, bangkitkan api perlawanan, kibarkan semangat juang melawan eksploitasi dan penindasan.
Tak peduli siapapun pejabat dan APH yang terlibat, seret saja. Kami hanya mengerti kosa kata korban, meski perlu pengorbanan.
Jika ada rayuan uang, ada ancaman, ada upaya membenturkan gerakan progresif, ada pihak yang berani membuat “pasukan” kami pesimis dan cemas, maka, kami pastikan maju terus pantang mundur.
Kedepan, kita akan berkumpul dengan para pelopor, menyegarkan kembali gelora perlawanan terhadap kapitalis iblis berbaju syari’ah ini.
Kita harus berani menantang segala tipu daya. Harus berani melawan keserakahan. Pastikan pijakan kaki kita berada pada posisi kritis menantang ketidak adilan.
Sampaikan bahwa kita lawanmu wahai kapitalis iblis berbaju syari’ah. Kami akan melawan, meski dalam ancaman.
Ingatlah, maut kapanpun dapat menyergap kita. Karena itu, jangan takut. Rapatkan barisan. Kita kibarkan bendera perang.
Kemaren, saya _posting_ status WA untuk menguji kedalaman rasa kemanusiaan rekan-rekan aktifis, dari yang nasionalis sampai aktifis milenial muslim. Bunyinya begini:
“Marhaenis, kami rindu suaramu. Apa kau merasa tua sehingga geloramu melemah?”
“Imperialisme gaya baru harus dilawan dengan sungguh-sungguh. Apa kalian yakin tak perlu lagi diskursus sosialisme dan revolusi untuk melawan kaum penindas ideologis itu?”
“Wahai pemuda muslim transformatif. Apakah karena kalian khatam ngaji Al-Qur’an, lalu merasa cukup shaleh? Lihatlah kapitalis berbaju syari’ah yang semakin gemuk, sombong dan congkak. Mereka menginjak-injak Al-Qur’anmu. Keluarlah. Kobarkan api Islam itu.”
“Aku hidup di masa kini, dimana sastra, puisi dan seni budaya menyerah di bawah sepatu penindas. Tak ada lagi teks perlawanan terhadap kejahatan kekuasaan. Kolaborasi sempurna neolib dengan penguasa telah mampu membunuh sebuah harapan. Kemana kalian para seniman, dimana kalian anak-anak teater?”
Saya belum merasakan energi kritis aktifis-aktifis milenial muslim dari HMI, PMII, IMM, dan lain-lain. Mereka direkam oleh sejarah dan rasanya makin memfosil. Tak ada denyut perlawanan, meski kejahatan di depan mata. Meski penindasan jadi tontonan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan semakin nyaman. Inilah zaman paling nyaman bagi para penggarong. Selamat istirahat para aktifis…”
Semua itu lahir bukan semata-mata karena adanya kasus aktual Subeki dan BSI Sumenep.
Melainkan karena nyata di depan mata kita, bagaimana kasus kapal ghoib dengan kerugian bermilyar-milyar di Sumenep semakin ghoib.
Bagaimana Participating Interest migas Sumenep semakin tidak jelas. Bagaimana dugaan korupsi gedung Dinkes Sumenep semakin sayup tanpa ujung.
Bagaimana masalah kemiskinan dan penderitaan rakyat pulau hanya menjadi komoditas politik lima tahunan sehingga rakyat pulau di Sumenep semakin marginal.
Rakyat hanya diberi makan janji-janji politik busuk oleh penguasa. Bukankah itu pengkhianatan terhadap rakyat dan demokrasi?
Karena itu, mari bersama-sama kita lawan.
Venceremos! (*)
___________________________
Disclaimer: seluruh isi tulisan ini tanggungjawab penulis sepenuhnya