IAIN Madura: Restorative Justice atau The Dark Number

PAMEKASAN, Gempardata.xom (11/8/2021) – DALAM pekan terakhir, berkaitan dengan dugaan tindak pidana perusakan fasilitas kampus IAIN Madura, banyak rekan yang menyapa saya lewat jalur pribadi.

Isinya berharap kemelut yang membara di IAIN Madura, yang sedang masuk ditahap penyidikan agar dapat diselesaikan lewat jalan restoratif.

https://gempardata.com/

Padahal, dalam beberapa pendapat melalui opini di media-media sudah saya berikan sinyal bahwa jalan restoratif tidak bisa dicapai dengan sikap angkuh, orang bersalah jangan bersikap seolah-olah benar, jangan menantang, jangan menyerang integritas rektor.

Jika mau dimaafkan ya meminta maaf, ganti kerugian dan pulihkan keadaan, bukan ngajak perang. Hadapi masalah, jangan lari dari masalah. Berani berbuat, berani bertanggungjawab.

Pada beberapa rekan, saya sampaikan begini:

Kampus adalah laboratorium gagasan dan keilmuan.

Tentu berkaitan dengan cara menyelesaikan masalah ini hanya kampus yang mempunyai perspektif lebih baik daripada lembaga lain.

Termasuk mengenai keadilan terbaik menurut kelompok akademik sebenarnya bagaimana.

Darimana munculnya gagasan _Alternative Despute Resolution (ADR), Restorative Justice, Penal Mediation_, diversi dalam perkara Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan lain-lain kalau bukan dari kelompok akademik seperti IAIN Madura.

Civitas akademika memiliki kewajiban untuk menerapkan konsep-konsep itu dalam kehidupan nyata, termasuk dalam mengatasi masalah yang sedang terjadi antara mahasiswa dengan kampus.

Jika kampus tidak dapat menerjemahkan teori itu dalam kehidupan nyata, bagaimana kampus bisa _confident_ menawarkan konsep-konsep penyelesaian alternatif dalam perkembangan hukum modern.

Oleh karena itu, kampus harus _perform_ ke hadapan publik untuk memberi contoh agar konsep keadilan restoratif, mediasi penal, diversi dan lain-lain menjadi berarti bagi lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pengacara. Jangan sampai konsep-konsep itu hanya menjadi isi pikiran dan tumpukan kertas penghias lemari perpustakaan.

Pendapat di atas itu hanya berlaku bagi pihak-pihak yang mau berbicara dan saling menyadari kesalahan.

Sampai saat ini, Rektor IAIN Madura belum memberi sinyal untuk membicarakan upaya supremasi keadilan restoratif. Mengapa? Karena terdapat beberapa orang yang lari dan menghindar dari masalah.

Jika yang lari ini tidak segera ditangkap maka jelas merugikan lima tersangka yang sudah dirampas kebebasannya secara sah menurut hukum.

Membiarkan yang lari dari jerat hukum justru menutup peluang _restorative justice_ dan membuka ruang _the dark number._

_The dark number_ adalah istilah terhadap kasus-kasus yang tidak tuntas, dalam hal ini pada tahap penyidikan di Polres Pamekasan. Mereka yang lari membuat polisi berhutang untuk mengejar dan menangkapnya, hal ini sangat membebani dan menyulitkan penyidik.

Bagaimana upaya _restorative justice_ terwujud jika pihak-pihaknya lari dan membuat lima tersangka lain merugi karena menunggu pihak-pihak yang lari ini ditangkap?

Kita semua dipermainkan oleh mereka yang lari dari tanggungjawab, sehingga terjebak pada dua situasi: _restorative justice_ dengan mentolerir kasus menjadi _the dark number_ atau _restorative justice for all_ dan masalah tuntas?

Agar jelas maksud tulisan ini saya ulangi kata bijak Desmont Tutu di atas:

“Jika anda ingin perdamaian, tidak bisa hanya bicara dengan teman-teman anda. Anda harus bicara dengan musuh anda.” (*)

Penulis : Sulaisi Abdurrazaq
(Direktur LKBH IAIN Madura)
Editor : (ard)

https://gempardata.com/