Meraih Ridha Tuhan dengan Birrul Walidain

Senin, 21 Oktober 2019.

GEMPARDATA.com, Oleh : Subliyanto.

https://gempardata.com/

ARTIKEL — Hakikat dalam hidup dan kehidupan yang manusia cari adalah ridha Allah dan syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak di kehidupan yang hakiki. Untuk mendapatkannya sudah tentu manusia harus bergerak dan beramal berdasarkan arahan dan bimbingan Tuhan yang sudah termaktub dalam kitabnya al-Qur’an, yang kemudian dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua aspek hidup dan kehidupan.

Diantara pintu mendapatkan keridhaan Allah adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, yang dalam bahasa agama disebut dengan “Birrul walidain”. Perintah “birrul walidain” ini diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an melalui kisah wasiat Lukman kepada anaknya. Allah berfirman :

“Dan (ingatlah) ketika Lukam berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’. Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan yang lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu, maka janganlah engkau mentaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali pada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, makan akan Aku beri tahukan kepadamu apa yang telah engkau kerjakan.” (QS. Lukman : 13-15).

Secara teknis, dalam “birrul walidain”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada ummatnya melalui pendidikan adab manusia kepada kedua orang tuanya, yang diantaranya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan Bukhari dalam kitab ‘al-Adab al-Mufrad, dari Mu’adz radhiyallau ‘anhu :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku wasiat dengan sepuluh kalimat. Beliau bersabda : “1) Jangan menyekutukan Allah, walaupun engkau dibunuh dan dibakar. 2) Jangan mendurhakai orang tuamu walaupun keduanya memerintahkanmu untuk meninggalkan keluarga dan hartamu. 3) Jangan meninggalkan shalat wajib, karena orang yang meninggalkan shalat wajib, maka tanggungan Allah sudah lepas darinya. 4) Jangan minum khamr, sebab khamr adalah kepala segala kekejian. 5) Hati-hati dengan kemaksiatan karena dengan kemaksiatan kemurkaan Allah ‘azza wa jalla pasti terjadi. 6) Jangan melarikan diri dari peperangan walaupun semua orang sudah mati. 7) Apabila masyarakat tertimpa musibah, sementara engkau berada di tengah mereka, maka tetaplah bersama mereka. 8) Berilah nafkah keluargamu dari hasil usahamu. 9) Jangan mengangkat tongkatmu untuk memukul keluargamu. 10) Dan jadikanlah keluargamu takut kepada Allah.

Dari sepuluh wasiat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam di atas, pada wasiat kedua manusia dilarang mendurhakai orang tuanya, yang mafhum mukhalafahnya adalah manusia diperintahkan untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Dan hal itu menunjukkan nilai urgensitas kedua orang tua bagi manusia setelah Allah dan Rasulnya. Maka Rasulullah pun menegaskan dalam haditsnya bahwa :

“Dari Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Hakim, ath-Thabrani).

Konsep ini secara teoritis mungkin sangat mudah, namun secara implementatif sangatlah berat, apalagi pada fase kehidupan saat ini yang mana nilai moralitas bangsa secara pelan-pelan terkikis dengan pola kehidupan yang materialis.

Muara perbaikannya tidak ada lain kecuali dengan ilmu, mengaji dan mengkajinya secara mendalam serta mengamalkannya dalam setiap aspek hidup dan kehidupan. Karena pemahaman yang benar akan mengantarkan manusia pada kebenaran, demikian juga sebaliknya, pemahaman yang salah juga akan menjerumuskan manusia pada jurang kemungkaran.

Sungguh, sangat banyak sekali konsep “birrul walidain” yang secara teknis diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ummatnya. Dari hal yang sangat sederhana hingga hal yang bersifat utama. Maka Sungguh sangat disayangkan jika manusia mengabaikannya. Karena dibalik semuanya terdapat keberkahan yang tidak tampak namun hanya bisa dirasakan oleh manusia yang memiliki kekuatan iman dan kesadaran.

Sebut saja salah satunya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallau’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat seseorang bersama anak kecil. Beliau bertanya kepada anak itu, “Siapa ini ?” Dia menjawab “Bapakku”. Beliau bersabda, ” Jangan engkau berjalan di depannya, jangan menyebabkannya dimaki-maki, jangan duduk sebelumnya, dan jangan memanggilnya langsung dengan namanya”.

Kisah di atas merupakan hal sederhana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ummatnya. Namun tidak jarang dari manusia yang mengabaikannya. Tentu masih banyak didikan adab lainnya yang berkaitan dengan birrul walidain yang Rasulullah ajarkan. Namun disini penulis tidak bisa membahasnya secara keseluruhan.

Sebagai penutup, penulis sematkan pesan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang secara kontensitasnya bermakna umum berupa kata “gembira”, sehingga dalam praktik mewujudkannya bisa manusia lakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan tuntunan sunnah-sunnahnya.

Diriwayatkan dari at-Thabrani, dari Ibnu Abbas radhiyallau’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila orang tua melihat anaknya kemudian merasa gembira, maka si anak memperoleh pahala membebaskan satu orang budak”. Ditanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang tua melihat anaknya tiga ratus enam puluh kali ?”. Beliau menjawab, “Allah Maha Besar”.

Semoga catatan singkat ini bermanfaat dan memberikan motivasi bagi kita untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas berbakti kita kepada kedua orang tua. Wallahu a’lam (*)

Penulis adalah pemerhati sosial dan pendidikan asal Kadur Pamekasan

https://gempardata.com/